Minggu, 16 Oktober 2011

Aku Mencintaimu Karena Allah

Suatu ketika seseorang sahabat berada di sisi Nabi SAW lewatlah seorang di hadapannya. Ketika melihatnya ia berkata, “Wahai Rasulullah sesungguhnya aku mencintainya.” Nabi SAW bertanya kepadanya, “Apakah engkau telah memberitahukannya?” “Belum.” Jawabnya. Beliau bersabda, “Beritahukanlah.” Orang tersebut menyusulnya dan berkata, “Sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah.” Orang tersebut membalas dengan ungkapan, “Semoga Allah yang menjadikanmu mencintaiku juga mencintaimu sebagaimana engkau mencintaiku.” (HR. Abu Dawud, shahih)
Sungguh, kalimat tersebut menggetarkan jiwa dan menyejukkan hati. Betapa tidak,  ungkapan tersebut merupakan ekspresi iman yang tulus dan jujur. Bukan ucapan yang didasari keinginan duniawi. Bukan pula basa-basi yang diucapkan sebagai pemanis bibir.
Cinta dan loyalitas merupakan suatu kata indah yang sering diungkapkan banyak orang, namun jarang yang tepat menggunakan atau memahaminya. Saat ini kata tersebut malah identik dengan hal yang berkonotasi nafsu atau syahwat. Inilah akibatnya, jika tsunami media luar masuk ke negeri ini tanpa kontrol. Padahal, cinta dalam Islam merupakan kata-kata yang bermakna tinggi dari semua itu. Dengan cinta seseorang bisa masuk surga atau berakhir dalam neraka. Itu tergantung dari bagaimana dan kepada siapa ia mencintai.
 Mengungkapkan perasaan cinta
Mengungkapan perasaan cinta kepada saudara seiman karena Allah merupakan suatu hal yang positif. Rasulullah SAW pernah mengungkapkan kecintaannya kepada sahabat Muadz bin Jabal RA.

عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَخَذَ بِيَدِهِ وَقَالَ:”يَا مُعَاذُ وَاللَّهِ إِنِّى لأُحِبُّكَ وَاللَّهِ إِنِّى لأُحِبُّكَ”. فَقَالَ :”أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ لاَ تَدَعَنَّ فِى دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ تَقُولُ اللَّهُمَّ أَعِنِّى عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ”
.
Diriwayatkan dari Muadz bin Jabal RA bahwa Rasulullah SAW meraih tangannya lalu mengatakan, “Wahai Muadz, demi Allah aku mencintaimu!” Lalu beliau bersabda, “Wahai Muadz, aku berpesan kepadamu untuk tidak meninggalkan doa setelah shalat. ‘Allahumma `ainni `ala dzikrika wa husni ibadatika’ (Ya Allah bantulah aku untuk selalu berdzikir, mensyukuri nikmatmu dan beribadah kepadamu dengan baik’.” (HR. Abu Dawud)
Mengungkapkan perasaan cinta karena Allah kepada sesama muslim bisa menjadi penguat ukhuwah atau persaudaraan. Sebab, dalam hubungan sosial selalu ada riak-riak kecil perasaan ghil, jengkel atau iri hati yang muncul karena kesalahpahaman. Ukhuwwah pun menjadi kaku dan dingin. Sehingga saat bertemu, tidak banyak salam dan sapa terucap.  Jika dibiarkan, duri-duri tersebut dapat merusak ukhuwwah. Padahal, sebenarnya kekakuan tersebut bisa cair dengan komunikasi yang jujur dan tulus. Karena itulah Rasulullah SAW menganjurkan untuk mengekspresikan perasaan cinta dengan kata-kata.
إِذَا أَحَبَّ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُعْلِمْهُ إِيَّاهُ
 “Jika seseorang mencintai saudaranya maka hendaknya ia mengungkapkan kepadanya bahwa ia mencintainya.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud dan Bukhari dalam Adabul Mufrad)
Namun sayangnya sunnah ini semakin jarang dilakukan kaum Muslimin. Bisa jadi karena rasa enggan, malu atau tidak mengetahui efek positifnya. Padahal orang-orang shalih terdahulu mereka juga saling mengungkapkan rasa cinta mereka kepada saudaranya. Suatu ketika Mujahid, seorang ulama besar tabi’in menceritakan, “Aku bertemu dengan salah seorang dari sahabat Rasulullah SAW ia memegang pundakku dari belakang seraya berkata, “Sesungguhnya aku mencintaimu.” Kemudian aku membalasnya dengan mengatakan kepadanya, “Semoga Allah yang membuat engkau mencintaiku juga mencintaimu sebagaimana engkau mencintai aku.” Lalu sahabat tersebut berkata, “Sekiranya Rasulullah SAW tidak bersabda, “Apabila seseorang mencintai orang lain maka ungkapkanlah kepadanya bahwa ia mencintainya.” Niscahya aku tidak akan mengungkapkannya kepadamu.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, hasan shahih).
Dengan ungkapan rasa cinta seseorang kepada saudaranya maka hubungan ukhuwwah karena Allah ta’ala akan semakin bertambah kuat dan kokoh, sehingga akan mendorong saudaranya untuk juga mencintainya serta mendoakannya dengan tulus. Yang demikian itu tentu juga akan menambah kesempurnaan iman seseorang, karena ikatan cinta karena Allah merupakan simpul ikatan cinta yang paling kuat.

Seseorang akan bersama yang ia cintai
Urusan cinta dan loyalitas bukan hal sederhana. Nasib anda di akherat kelak bergantung kepada bagaimana Anda mengelolanya. Kelak di akhirat, seseorang akan disatukan bersama orang yang ia cintai. Karena itu cintailah orang yang dijamin mendapatkan cinta-Nya. Yaitu, para Nabi, as-shiddiqin, syuhada dan orang-orang shalih.
Dari Anas bin Malik ia menceritakan bahwa seseorang datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah kapankah tibanya hari Kiamat? Rasulullah SAW bertanya kepadanya, “Apakah yang telah engkau persiapkan untuk menghadapi hari Kiamat?” Orang tersebut berkata, “Kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya.” Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya engkau akan bersama yang engkau cintai.” Demi mendengar sabda Rasulullah tersebut Anas bin Malik berkata, “Tidak ada sesuatu yang menggembirakan kami setelah masuk Islam, melebihi kegembiraan kami terhadap sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya engkau bersama yang engkau cintai.” Lalu Anas berkata, “Aku mencintai Allah dan Rasul-Nya juga Abu Bakar dan Umar dan aku berharap semoga kelak bisa dikumpulkan bersama mereka walaupun tidak bisa beramal dengan amalan mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Persaudaraan dalam Islam merupakan sesuatu yang istimewa. Keterkaitan muslim dengan saudaranya bukan karena faktor demografi, bahasa, warna kulit, warna mata atau ras. Melainkan karena keimanan kepada Allah dalam satu akidah. Karena itu derajat dan kedudukan muslim yang berhasil mengukuhkan ukhuwwah tersebut sangat tinggi dan mulia. Para Nabi dan syuhada pun iri kepada mereka.
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah terdapat suatu golongan manusia yang bukan dari para nabi dan bukan pula syuhada, akan tetapi para nabi dan syuhada iri dengan kedudukan mereka disisi Allah pada hari Kiamat.” Para sahabat berkata, “Beritahukanlah kepada kami siapa mereka wahai Rasulullah?” Lalu Rasulullah menjelaskan, “Mereka adalah suatu kaum yang saling mencintai karena Allah bukan karena ikatan kekerabatan diantara mereka dan bukan pula karena faktor harta yang mereka harapkan, demi Allah sesungguhnya pada wajah-wajah mereka terdapat cahaya dan mereka berada diatas cahaya, mereka tidak merasa khawatir ketika manusia khawatir, dan tidak pula bersedih hati ketika manusia bersedih hati, lalu beliau membaca firman Allah, “Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran pada diri mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Yunus: 62) (HR. Abu Dawud, shahih)

Sebuah renungan bagi kaum muslimin
Namun, kita perhatikan fenomena akhir-akhir ini amat menghkawatirkan. Betapa banyak kaum muslimin yang menempatan cinta dan loyalitasnya mereka kepada orang-orang kafir, para artis, para pelaku maksiat yang jauh dari Islam. Disadari maupun tidak ‘musibah’ ini menjadi suatu fenomena yang dianggap biasa. Sehingga banyak kaum muslimin yang mengikuti tradisi orang kafir, merayakan hari raya dan mengkiblat gaya hidup mereka.
Sebaliknya, orang-orang yang seharusnya mereka cintai justru ditinggalkan. Padahal, tidak ada teladan yang lebih baik dari pada Rasulullah SAW, para ulama dan orang-orang shalih. Berawal dari kesalahan memilih idola akan berujung kepada salah memilih saudara. Bisa jadi mengapa hari ini banyak orang muslim acuh terhadap penderitaan saudaranya karena menganggap mereka ‘orang lain’, bukan bagian dari satu tubuh. Mengapa demikian? Karena orang yang dianggap saudara adalah orang yang memiliki idola dan life style yang sama.
Hari ini, kita sangat mendambakan hadirnya ukhuwwah Islamiyah, kesatuan atas dasar Islam. Kita merindukan masyarakat muslim yang mencintai saudara seimannya. Cinta yang tulus dan jujur, yang terwujud dengan senantiasa saling mengingatkan kepada kebenaran dan kesabaran. Tawashaw bil haq wa tawashaw bis shabr. Hari ini, kita masih mengangan-angankan hadirnya saudara seiman yang mengatakan, “Aku mencintaimu karena Allah.” Sehingga kita bisa membalas ungkapan mereka dengan doa, “Semoga Allah yang menjadikan engkau mencintaiku juga mencintaimu sebagaimana engkau mencintai aku.” Sungguh, ungkapan penyejuk jiwa yang tulus tersebut masih kita tunggu hingga hari ini.
“Ya Allah sesungguhnya kami memohon kecintaan kepada-Mu, mencintai orang-orang yang Engkau cintai dan mencintai amalan-amalan yang dapat mendekatkan diri pada cinta-Mu dan jadikanlah kecintaan kami kepada-Mu melebihi kecintaan kami pada diri kami, keluarga kami, dan air dingin yang segar.”
 

0 komentar:

Posting Komentar