| Nama-nama Raihan, Saujana, Hijjaz , atau Brothers    makin familier di telinga kita. Lagu-lagu nasyidnya itu lho yang bikin   kita kesengsem. Lembut, syahdu, dan kalem. Bisa menghanyutkan kita  dalam  mengingat Allah atau bermuhasabah (tapi bukan sebagai pengantar  tidur  lho). Kaset dan CD-nya juga gampang diperoleh di toko-toko kaset.   Apalagi di bulan suci ini. Dijamin bejibun. Abis laku keras sih. Malah   ada juga kompilasi MP3-nya yang bajakan dan dijual eceran di kaki  lima.  Itu juga kalo nggak keburu digerebek ama aparat. Hehehe…  Nggak cuma didengerin, nasyid mulai banyak dilantunkan oleh remaja muslim. Buat mereka yang lagi kasmaran kontan hapal Teman Sejati -nya Brothers. Ehm, buat yang lagi berkobar semangat Islamnya langsung melalap semua lagu dalam album Kembali -nya Izzatul Islam. Mereka yang merasa ideologis juga ikutan berhip-hop nyanyiin tembang-tembang Soldiers of Allah . Atau yang lagi belajar bahasa arab berpartisipasi dengan Hadad Alwi dan Sulis dalam Cinta Rasul . Bang Toyyiiib …. Bang Toyyiiib . Eh maaf, salah muter kaset. Harusnya: Ya Thoyyibaah …. ya thoyyibaah …. (Hihihi)  Biasanya  anak-anak rohis atau primus alias pria  mushola keranjingan bikin group  nasyid. Selain untuk menggiatkan syiar  Islam, bisa juga sebagai media  penyaluran bakat bermusik. Booming   grup-grup nasyid baru pun  tak terbendung. Apalagi sekarang banyak  digelar festival nasyid.  Semuanya pada pengen unjuk gigi.  Mentang-mentang pake pepsodent   (ini iklan ya?). Syukur-syukur  bisa masuk dapur rekaman. Kan lumayan.  Daripada masuk dapur restoran.  Entar disuruh cuci piring lagi. Hehehe….   Dan kini nasyid makin dianggap spesial dan  jadi  komoditi bisnis. Buktinya sampai dibikin festival dan konser  segala.  Ditayangin di layar kaca lagi. Kayak Festival Nasyid Indonesia  (FNI) dan  Nasyid Tausyiah dan Qiraah (NTQ) yang lagi jadi pembicaraan  hangat.  FNI yang dilaunching 23 Juni 2004  silam kini memasuki  babak final dengan 10 group yang berhasil lolos  audisi. Para finalis  ini akan menjalani masa karantina dengan sistem  pesantren. Di sini  mereka bakal dapetin pembekalan dari segi musikal,  performance, siraman  rohani, dan pengembangan diri. Indosiar menyiarkan  kegiatan mereka  setiap hari selama Ramadhan dari tanggal 15 Oktober  hingga 12 November  2004. Setiap minggunya akan ada dua grup yang akan  tereliminasi, hingga  tersisa empat grup yang akan bertemu di grand  final 12 November  mendatang.  Sekadar tahu  aja, modal untuk menggelar FNI itu cukup  gede lho, ongkos produksinya  dari mulai penginapan peserta festival (di  Raffles Hill, yang pernah  dipake peserta AFI 1-3), hingga ditayangkan  di layar kaca, kata Manajer  Nondrama Indosiar, Jufipriyanto, sekitar Rp 1 Miliar. (Koran Tempo, 17 Oktober 2004)  Sementara  TV7 nggak mau kalah dengan menghadirkan NTQ  dari tanggal 7 Oktober  hingga 4 November 2004. Festival yang satu ini  agak laen. Selain  menuntut kemampuan munsyid (penyanyi nasyid) untuk  menunjukkan  harmonisasi olah vokal ( nasyid ), salah seorang  munsyid dalam  grup masing-masing juga dituntut untuk dapat menunjukkan  kemampuannya  melantunkan ayat suci al-Quran ( qiraah ) dengan benar serta menginterpretasikannya dengan baik ( tausyiah ).   Biar para finalis nggak cuma bisa nyanyi, tapi juga nyelipin tausyiah   atau qira'ah dalam aksi panggungnya. Jangan-jangan ini kaderisasi ABRI   alias Anak Buah Rhoma Irama. Hehehe...  Seni Islam di negeri kita  Seni  Islam yang berwujud tembang-tembang religius  emang bukan barang baru  di negeri kita. Jaman bonyok (bokap-nyokap)  kita, masyarakat kenal seni  Islam terbatas pada musik qasidah atau irama  gambus. Dengan iringan  alat musik kepret  (tabuh/pukul) semacam rebana atau ketimpring  (kecrekan), jenis musik ini dianugerahi julukan ‘band kepret'. Meski begitu, lagu Perdamaian , Indung-indung , atau Jilbab-jilbab Putih masih populer di kalangan guru-guru Agama Islam setingkat SD. Bener lho!  Sayangnya,  personel qasidah ini yang biasanya akhwat  suka ikut joget bin goyang  pinggul ngikutin irama gambus yang  mepet-mepet dangdut. Malah  seringkali mereka tampil ber-tabarruj  (menampakkan kecantikan  tubuhnya). Polesan lipstik di bibir dan sapuan  make up di wajah yang  terkesan menor. Jelas perpaduan ini jadi keliatan  norak dengan balutan  busana muslimah yang menjaga kehormatannya. Terus  alunan musiknya juga  terdengar monoton binti kaku. Otomatis lambat laun  qasidah atau irama  gambus ini kian terkubur di telan perkembangan musik  pop. Wassalam deh!   Tahun 70-an, musik religius mulai  mendapatkan tempat  lagi di hati para penggemar musik. Adalah Bimbo Cs  yang mengenalkan  musik pop berlirik religius. Kelompok asal Bandung itu  telah menggarap  lagu seperti Tuhan , Rindu Rasul , sampai Anak Bertanya pada Bapaknya  yang terbukti menjadi lagu sepanjang masa.  Suasana  musik religius makin kondusif dengan hadirnya  nasyid. Terutama setelah  muncul kelompok vokal Raihan dari Malaysia  yang turut mempopulerkan  nasyid yang ngepop dan easy listening sekitar tahun 1996. Tak lama kemudian, grup nasyid asal Malaysia pun membanjiri Indonesia. Sebut saja Rabbani, Hijjaz, Brothers, In-Team , atau The Zikr  dan masih banyak lagi.  Grup  nasyid domestik yang mengemas lirik religius  dengan pendekatan pop  juga kian berkibar. Ada Senandung Nasyid dan  Dakwah alias Snada, Suara Persaudaraan, Izzatul Islam, ar-Ruhul Jadid,  atau Shoutul Harakah . Oya, Ruhul Jadid  dan Izzatul Islam  terkenal sebagai grup nasyid yang mengobarkan semangat juang. Aseli semangat banget tuh!  Sejak saat itu, popularitas nasyid kian booming .   Bagi remaja muslim, nasyid udah jadi bagian dari keseharian mereka.   Gimana nggak, dengan variasi jenis musik, nasyid kini mampu mewakili   budaya remaja yang beragam. Semua aliran musik mampu diselami grup-grup   nasyid baru. Dari yang nge-pop, mars yang menggugah semangat,   melankolis, sampe yang rap bin hip-hop. Tinggal milih sesuai selera.   Makanya nggak usah kaget kalo kita nemuin temen kita tengah komat-kamit   kayak dukun baca mantra. Kali aja doi lagi nge-rap Staring Into Kafirs Eyes -nya Soldiers of Allah (SOA). Huhuy!  Jangan terlena alunan nada  Sobat muda muslim, bukan aib kalo kita jatuh cintrong ama nasyid-nasyid yang kian trend. Saking kesengsemnya, winamp  di komputer penulis nggak mau berhenti muterin lagu-lagu dari Hawari, BMP, Bijak, Nada Murni, Saujana,  atau The Fikr  sambil bikin tulisan ini. Tapi kita juga nggak pengen nasyid bikin kita terlena. Idih, emangnya Ikke Nurjannah? Wacks!  Sobat  muda muslim, tentu kita semua udah tahu kalo  hukum bernyanyi itu  mubah. Karena pada masa Rasul banyak shahabat yang  hobi nyanyi atau  sekadar bersenandung sepengetahuan beliau. Dan beliau  mendiamkannya ( taqrir ).  Seperti yang dikerjakan Salman  al-Farisi saat menggali parit ketika  akan menghadapi perang Khandaq.  Bahkan Rasul sendiri mengangkat seorang  shahabat ahli syair bernama  Hasan bin Tsabit. Doi bertugas mengobarkan  semangat kaum Muslimin di  medan pertempuran dengan syair-syairnya yang  heroik plus energik.  Dan sudah sepatutnya  kemubahan itu tetap pada  tempatnya alias nggak ngotak-ngatik aktivitas  lain yang hukumnya wajib  atau sunnah. Ada kekhawatiran pada ajang  festival nasyid seperti yang  digeber FNI atau NTQ. Kenapa?  Mengingat  banyaknya porsi waktu, pikiran, tenaga, dan  harta yang dialokasikan  dalam pagelaran festival yang makan waktu cukup  lama ini bisa bikin  lalai dari kewajiban untuk berdakwah, mengkaji  Islam secara intensif,  atau mengoreksi kebijakan penguasa yang  mendzhalimi rakyat. Panitia  sibuk nyiapin perlengkapan, akomodasi, sampe  monitoring perkembangan  peserta saban hari. Pesertanya juga nggak kalah  sibuk latihan biar  penampilan mereka di atas panggung tidak  mengecewakan.  Lagian  kalo kita bercermin pada perilaku keseharian  Rasulullah dan para  sahabat, waktu mereka lebih banyak dialokasikan  untuk beribadah,  menyebarkan pemahaman Islam, berjihad, dan sesekali  bercengkrama dengan  keluarga. Ini berarti sedikit sekali waktu yang  diberikan untuk  mencari hiburan, termasuk bernyanyi-nyanyi. Catet tuh!  Selain  itu, kehadiran FNI atau NTQ berbarengan dengan  tren ajang pencarian  bakat sekuler kayak AFI, Indonesian Idol, atau  KDI. Seolah festival itu  digelar sebagai ajang tandingan. Moga-moga  nggak ya. Afwan, bukannya  kita mau ngerecokin. Cuma was-was aja dengan  format acara itu yang  dikemas seperti AFI dkk yang kental dengan alam  kapitalis bin komersil.  Jangan sampe deh nasyider jadi kayak seleb pada  umumnya: haus  popularitas, pujian, jadi sumber penghasilan, serta  bergaya glamour.  Bahkan nggak mau manggung kalo bayarannya rendah.  Walah!  Yang  lebih parah, kalo niat ikhlas untuk berdakwah  via jalur nasyid lambat  laun bermetamorfosis menjadi riya'. Masa' sih?  Asli. Bayangin aja, pas  di atas panggung. Benih-benih takabbur dan riya'  mulai mencari mangsa.  Tepukan tangan yang gemuruh, pujian serta  histeria pendengar bisa  menenggelamkan akal sehat dan melambungkan  perasaan kita. Rasullah saw.  bersabda: “Siapa yang memperdengarkan  amalnya kepada lain orang,  maka Allah memalukannya di hari kiamat, dan  barang siapa yang  memperlihatkan amalnya kepada orang, Allah membalas  riya'nya itu.” (HR Bukhari, Muslim)  Kalo  sudah begini, apa mungkin jebolan FNI atau NTQ  itu bisa seperti Hasan  bin Tsabit? Mungkinkah akan muncul generasi  Salman al-Farisi? Atau  jangan-jangan malah berkeliaran versi islamnya  Very atau Sutha AFI?  Walah, seleb islami kali yee (hehehe).  Budaya bukan yang utama  Sobat,  kita bersyukur banget dengan antusias semua  lapisan masyarakat  terhadap seni Islam. Setidaknya mulai tumbuh  kecintaan terhadap Islam.  Sekaligus mampu meng- kick  balik  seni-seni jahiliah bin sekuler  yang meraja lela. Tapi tentu kita nggak  merasa cukup dengan  kegembiraan ini. Tanpa bermaksud mengecilkan peran  nasyid atau munsyid  yang berdakwah di jalur seni suara, kita kudu nyadar  kalo Islam isinya  bukan cuma budaya. Bener. Budaya cuma bagian kecil  aja.  Belum  pas rasanya kalo kita jadikan tren nasyid  sebagai parameter  kebangkitan Islam. Sebab kebangkitan itu hanya akan  diraih dengan  adanya perubahan pemikiran dan perilaku umat ke arah yang  lebih baik.  Dan Rasulullah nggak ngasih contoh kalo perubahan itu bisa  diraih  dengan bersenandung. Tapi dengan pembinaan akidah, syariat, dan  dakwah  secara intensif. Pokoknya digeber iman, ilmu dan amalnya untuk   perjuangan membela Islam.  Karena itu, boleh  aja kita dengerin nasyid dikala  jenuh binti bete atau bikin grup nasyid  untuk sekadar penyaluran bakat.  Anggap aja sebagai penyemangat dan  penghibur perjuangan. Tapi inget, di  luar sana umat yang tengah dijajah  sistem sekuler sangat membutuhkan  uluran tangan kita untuk bangkit.  Kalo  pengen menghidupkan Islam, Islam itu ideologi,  bukan budaya. Sehingga,  jika ingin menghidupkan Islam, maka harus  difokuskan perjuangannya  kepada kampanye penerapan syariat Islam sebagai  ideologi negara. Seni,  musik, dan sejenisnya adalah bagian kecil saja  dalam khasanah ideologi  Islam. Kalo ideologi Islam udah diterapkan dalam  bingkai negara, maka  insya Allah nyanyian pasti akan bercitarasa Islam.  Bahkan bukan cuma  nyanyian, segala aspek kehidupan pasti akan  berlandaskan ideologi  Islam. Yakin itu.  Sobat muda muslim, yang  dibutuhkan Islam saat ini  adalah keseriusan dalam berdakwah menegakkan  Khilafah. Jangan sampe  nasyid menjadi senjata dari musuh-musuh Islam  untuk melenakan kita.  Karena kita menganggap bahwa dengan maraknya seni  Islam, Islam akan  bangkit. Nggak lha yauw! Kita harus berjuang, dan  tanpa perlu menjadikan  nasyid sebagai senjata utama! (nasyid mah  pelengkap aja deh!). Akur  dong? [hafidz]  
 sumber: http://www.dudung.net/buletin-gaul-islam/islam-bukan-cuma-nasyid.html 
|
 | Edisi 218/Tahun ke-5 (25 Oktober 2004) |  |