Featured Article

Jumat, 09 September 2011

Hal-Hal Yang Menodai Tauhid

Oleh : Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin

Termasuk perbuatan dosa besar yang menodai tauhid seseorang adalah merasa aman dari siksa dan adzab Allah subhanahu wa ta'ala dan berputus asa dari rahmat-Nya. Haramnya merasa aman dari siksa/makar Allah berdasarkan firman-Nya,

أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللهِ فَلاَيَأْمَنُ مَكْرَ اللهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ {99}

“Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga) Tiadalah yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi”. (QS. Al-A’raf:99)

Ayat ini memberikan beberapa faidah di antaranya:

1.Waspada terhadap nikmat Allah yang diberikan oleh Allah kepada seseorang, supaya hal itu tidak menjadi istidraj (tipuan, maksudnya ditambahkan kepadanya nikmat oleh Allah tetapi agar orang tersebut semakin jauh dari Allah). Karena setiap nikmat yang diberikan oleh Allah maka ada kewajiban yang harus dipenuhi, yaitu syukur atas terhadap nikmat tersebut. Syukur dengan cara beribadah dan mentaati Dzat yang memberi nikmat (Allah). Apabila tidak bersyukur atas banyaknya nikmat yang diterima maka ketahuilah bahwasanya itu adalah bentuk makar/tipu daya dari Allah subhanahu wa ta’ala.

2.Haramnya merasa aman dari makar/siksa Allah, hal ini karena dua hal, pertama: Kalimat dalam ayat ini berbentuk kalimat tanya yang menunjukkan makna pengingkaran dan ta’ajub/keheranan. Kedua: Firman Allah, “Tiadalah yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi”

Adapun dalil tentang haramnya berputus asa dari rahmat Allah subhanahu wa ta'ala adalah firman-Nya,

وَمَن يَقْنَطُ مِن رَّحْمَةِ رَبِّهِ إِلاَّ الضَّالُّونَ {56}

"Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Rabbnya, kecuali orang-orang yang sesat". (QS.al-hijr :56)

Adapun makna ayat adalah, ketika Nabi Ibrahim diberi kabar gembira oleh malaikat akan lahirnya seorang anak yang pandai dari keturunan beliau, beliau berkata kepada para Malaikat,

 قَالَ أَبَشَّرْتُمُونِي عَلَى أَن مَّسَّنِيَ الْكِبَرُ فَبِمَ تُبَشِّرُونَ {54} قَالُوا بَشَّرْنَاكَ بِالْحَقِّ فَلاَ تَكُن مِّنَ الْقَانِطِينَ {55} قَالَ وَمَن يَقْنَطُ مِن رَّحْمَةِ رَبِّهِ إِلاَّ الضَّالُّونَ {56

“Berkata Ibrahim:"Apakah kamu memberi kabar gembira kepadaku padahal usiaku telah lanjut, maka dengan cara bagaimanakah (terlaksananya) berita gembira yang kamu kabarkan ini" Mereka menjawab:"Kami menyampaikan berita gembira kepadamu dengan benar, maka janganlah kamu termasuk orang-orang yang berputus asa". Ibrahim berkata:"Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Rabbnya, kecuali orang-orang yang sesat". (QS. Al-Hijr :54-56)

Berputus asa dari rahmat Allah haram, tidak diperbolehkan dan termasuk dosa besar, karena hal itu adalah bentuk buruk sangka/su’u dzon terhadap Allah subhanahu wa ta'ala, hal itu dilihat dari dua sisi:

1.Hal tersebut adalah bentuk celaan terhadap Qudrah/kemampuan Allah, Karena barang siapa yang mengetahui bahwa Allah Mahamampu terhadap segala sesuatu, tidak akan menganggap mustahil segala di atas Qudrah Allah.

2.Hal tersebut bentuk celaan terhadap rahmat/kasih sayang Allah, karena barang siapa yang mengetahui bahwa Allah Maha penyayang maka tidak akan menganggap mustahil kalau Allah akan merahmatinya. Oleh sebab itu orang yang putus asa dari rahmat Allah adalah orang yang sesat.

Maka tidak sepantsnya apabila seseorang berada dalam kesusahan dan kesulitan untuk menganggap mustahil datangnya apa-apa yang diinginkan dan hilangnya kesusahan. Betapa banyak manusia yang berada dalam kesulitan dan dia mengira bahwa dia tidak akan selamat darinya, ternyata Allah menyelamatkannya, bisa jadi karena amalannya yang terdahulu, sebagaimana yang terjadi pada Yunus 'alaihissalam sebagaimana firman Allah Ta'ala,

فَلَوْلآ أَنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُسَبِّحِينَ {143} لَلَبِثَ فِي بَطْنِهِ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ {144}

“Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah,niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit. (QS.Ash-Shaaffaat:143-144)

Atau bisa jadi karena amalannya yang akan datang/datang belakangan, sebagaimana do’a Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pada perang Badr, malam perang Ahzab, dan juga sebagaimana doa Ashabul Kahfi.

Dan juga haramnya merasa aman dari makar Allah dan berputus asa dari rahmat Allah berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ditanya tentang dosa-dosa besar, beliau menjawab,“Menyekutukan Allah (syirik), putus asa dari rahmat Allah dan merasa aman dari makar/siksa Allah”(HR.al-Bazzar, Ibnu Abi Hatim dalam tafsir Ibnu Katsir, Thabrani)

Dan juga Ibnu Mas’ud berkata,”Sebesar-besar dosa besar adalah:” “Menyekutukan Allah (syirik), merasa aman dari makar/siksa Allah, putus asa putus asa dari rahmat Allah dan dari pertolongan-Nya”(HRAbdur Razzaq, Ibnu Jarir, ath-Thabrani)

(Sumber: al-Qulul Mufid (edisi Arab), Kitab tauhid (edisi Indonesia) Pustaka al-Sofwa, Abu Yusuf Sujono)

Tipe Wanita Yang Disunnahkan Untuk Dilamar



Dalam melamar, seorang muslim dianjurkan untuk memperhatikan beberapa sifat yang ada pada wanita yang akan dilamar, diantaranya :

1. Wanita itu disunahkan seorang yang penuh cinta kasih. Maksudnya ia harus selalu menjaga kecintaan terhadap suaminya, sementara sang suami pun memiliki kecenderungan dan rasa cinta kepadanya.
Selain itu, ia juga harus berusaha menjaga keridhaan suaminya, mengerjakan apa yang disukai suaminya, menjadikan suaminya merasa tentram hidup dengannya, senang berbincang dan berbagi kasih sayang dengannya. Dan hal itu jelas sejalan dengan firman Allah Ta'ala,
Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tentram kepadanya. Dan Dia jadikan di antara kalian rasa kasih dan saying. (ar-Ruum:21) .

2. Disunahkan pula agar wanita yang dilamar itu seorang yang banyak memberikan keturunan, karena ketenangan, kebahagiaan dan keharmonisan keluarga akan terwujud dengan lahirnya anak-anak yang menjadi harapan setiap pasangan suami-istri.

Berkenaan dengan hal tersebut, Allah Ta'ala berfirman,
Dan orang-orang yang berkata, 'Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami sebagai penyenang hati kami, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa'. (al-Furqan:74) .

Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
Menikahlah dengan wanita-wanita yang penuh cinta dan yang banyak melahirkan keturunan. Karena sesungguhnya aku merasa bangga dengan banyaknya jumlah kalian pada hari kiamat kelak. Demikian hadist yang diriwayatkan Abu Daud, Nasa'I, al-Hakim, dan ia mengatakan, Hadits tersebut sanadnya shahih.

3. Hendaknya wanita yang akan dinikahi itu seorang yang masih gadis dan masih muda. Hal itu sebagaimana yang ditegaskan dalam kitab Shahihain dan juga kiab-kitab lainnya dari hadits Jabir, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bertanya kepadanya,

Apakah kamu menikahi seorang gadis atau janda? dia menjawab,"Seorang janda."Lalu beliau bersabda, Mengapa kamu tidak menikahi seorang gadis yang kamu dapat bercumbu dengannya dan ia pun dapat mencumbuimu? .

Karena seorang gadis akan mengantarkan pada tujian pernikahan. Selain itu seorang gadis juga akan lebih menyenangkan dan membahagiakan, lebih menarik untuk dinikmati akan berperilaku lebih menyenangkan, lebih indah dan lebih menarik untuk dipandang, lebih lembut untuk disentuh dan lebih mudah bagi suaminya untuk membentuk dan membimbing akhlaknya.

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sendiri telah bersabda,
Hendaklah kalian menikahi wanita-wanita muda, karena mereka mempunyai mulut yang lebih segar, mempunyai rahim yang lebih subur dan mempunyai cumbuan yang lebih menghangatkan.

Demikian hadits yang diriwayatkan asy-Syirazi, dari Basyrah bin Ashim dari ayah nya, dari kakeknya. Dalam kitab Shahih al_Jami' ash_Shaghir, al-Albani mengatakan, "Hadits ini shahih."

4. Dianjurkan untuk tidak menikahi wanita yang masih termasuk keluarga dekat, karena Imam Syafi'I pernah mengatakan, "Jika seseorang menikahi wanita dari kalangan keluarganya sendiri, maka kemungkinan besar anaknnya mempunyai daya piker yang lemah."

5. Disunahkan bagi seorang muslim untuk menikahi wanita yang mempunyai silsilah keturunan yang jelas dan terhormat, karena hal itu akan berpengaruh pada dirinya dan juga anak keturunannnya. Berkenaan dengan hal tersebut, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

Wanita itu dinikahi karena empat hal: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah wanita yang taat beragama, niscahya kamu beruntung. (HR. Bukhari, Muslim dan juga yang lainnya).

6. Hendaknya wanita yang akan dinikahi itu taat beragama dan berakhlak mulia. Karena ketaatan menjalankan agama dan akhlaknya yang mulia akan menjadikannya pembantu bagi suaminya dalam menjalankan agamanya, sekaligus akan menjadi pendidik yang baik bagi anak-anaknya, akan dapat bergaul dengan keluarga suaminya.

Selain itu ia juga akan senantiasa mentaati suaminya jika ia akan menyuruh, ridha dan lapang dada jika suaminya memberi, serta menyenangkan suaminya berhubungan atau melihatnnya. Wanita yang demikian adalah seperti yang difirmankan Allah Ta'ala,

"Sebab itu, maka wanita-wanita yang shahih adalah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminyatidak berada di tempat, oleh karena Allah telah memelihara mereka". (an-Nisa:34) .

Sedangkan dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
"Dunia ini adalah kenikmatan, dan sebaik-baik kenikmatannya adalah wanita shalihah". (HR. Muslim, Nasa'I dan Ibnu Majah).

7. Selain itu, hendaklah wanita yang akan dinikahi adalah seorang yang cantik, karena kecantikan akan menjadi dambaan setiap insan dan selalu diinginkan oleh setiap orang yang akan menikah, dan kecantikan itu pula yang akan membantu menjaga kesucian dan kehormatan. Dan hal itu telah disebutkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam hadits tentang hal-hal yang disukai dari kaum wanita.

Kecantikan itu bersifat relatif. Setiap orang mempunyai gambaran tersendiri tentang kecantikan ini sesuai dengan selera dan keinginannya. Sebagian orang ada yang melihat bahwa kecantikan itu terletak pada wanita yang pendek, sementara sebagian yang lain memandang ada pada wanita yang tinggi.

Sedangkan sebagian lainnya memandang kecantikan terletak pada warna kulit, baik coklat, putih, kuning dan sebagainya. Sebagian lain memandang bahwa kecantikan itu terletak pada keindahan suara dan kelembutan ucapannya.

Demikianlah, yang jelas disunahkan bagi setiap orang untuk menikahi wanita yang ia anggap cantik sehingga ia tidak tertarik dan tergoda pada wanita lain, sehingga tercapailah tujuan pernikahan, yaitu kesucian dan kehormatan bagi tiap-tiap pasangan.

Sumber: Fikih Keluarga, Syaikh Hasan Ayyub, Cetakan Pertama, Mei 2001, Pustaka Al-kautsar

Hamka : Ulama yang lebih dikenal di Malaysia, Brunei, Singapura ketimbang di negaranya Indonesia



Oleh: Afriadi Sanusi*

“Hilang belum berganti”,  itulah kalimat yang dapat kita ungkapkan terhadap pribadi Hamka. Kalimat itu diilhami dari sebuah lagu untuk mengenang kepergian P. Ramlee, seorang artis dan aktor Malaysia pada tahun 1950-an.

Sebuah seminar tentang Hamka baru-baru ini, tepatnya 25 Januari 2010 malam, diadakan di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), yang dibuka oleh YB Dato` Seri Utama Dr Rais Yatim, seorang Menteri di Malaysia dan dihadiri oleh berbagai ahli akademik dan tokoh lainnya.

Hamka adalah akronim namanya Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Lahir di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 dan meninggal di Jakarta 24 Juli 1981. Ia seorang ulama, politikus, dan juga sastrawan masyhur Indonesia.

Tidak ada pendewaan, pengagungan terhadap Hamka dalam seminar itu. Semua berjalan realistis dan apa adanya. Rusdhi Hamka, Prof. Dr Yunahar Ilyas, Dr Mochtar Naim umpamanya, lebih banyak menyingkap sisi hidup beliau sebagai manusia biasa dan normal. “Hamka kecil seorang yang “nakal”, malas sekolah, dan sebagainya,” katanya.

Namun menurut Dr Dato` Siddik Fadhil dari UKM, “tidak ada gunanya kita mengecil-ngecilkan orang besar dan membesar-besarkan orang kecil sebab itu hanya akan sia-sia saja, dan sememangnya Hamka adalah seorang tokoh besar yang menjadi kebanggaan orang Melayu.”

Kebesaran Hamka tidak membuat dia sombong dan ingin didewakan. Dia tidak suka orang mencium tangannya, meminum air sisanya, atau menjadikan air cuci kakinya sebagai ajimat, seperti yang sering berlaku pada sebagian orang, akibat belum habisnya pengaruh Siwa-Buddha di alam Nusantara ini. Bahkan dalam beberapa tulisannya Hamka sering mengatakan bahwa dia bukanlah manusia yang sempurna, tambah Mochtar Naim.

Hamka adalah simbol persatuan dunia Melayu yang identik dengan Islam, khususnya Indonesia, Singapura, Brunei, Malaysia. Baginya ukhuwah Islamiyah dan tali persaudaraan di atas segala-galanya. Kalau beliau masih hidup, pasti dia sangat marah di saat dua negara yang notabenenya serumpun, memiliki hubungan persaudaraan yang dekat, dan seagama ini, mau berperang dan berbunuh-bunuhan hanya karena masalah tari pendet dan perkara remeh temeh lainnya.

Hamka dianggap sebagai seorang tokoh pejuang Bahasa Melayu yang menjadikannya sebagai bahasa pengantar dan bahasa ilmu, seperti yang telah dilakukan oleh ilmuwan silam, seperti Syeikh Nuruddin Ar-Raniri, Hamzah Fansuri, Syamsuddin As-Sumatrani.

Bahasa Melayu dalam karya Hamka sangat tegas dan jelas, sehingga semua orang Melayu dapat memahami tulisannya. Ini tentu saja berlainan dengan ilmuwan saat ini yang menulis dalam bahasa Melayu Indonesia atau Malaysia yang hanya bisa dipahami oleh orang Malaysia saja atau oleh orang Indonesia saja.

Hamka lebih dikenal di Malaysia, Brunei, Singapura, dan dunia Islam lainnya, dibanding di Indonesia sendiri. Beliau adalah seorang yang kritis terhadap penguasa yang gagal dan zalim. Karya-karya beliau masih menjadi rujukan utama hingga saat ini.

Di masjid, surau, rumah, institusi pendidikan lainnya di Malaysia, kita akan dengan mudah menemukan buku beliau seperti “Tafsir al-Azhar”, “Tasauf Modern” atau novel “Dibawah Lindungan Ka’bah”, dan sebagainya. Bahkan seorang profesor senior di Universiti Malaya pernah mengatakan, “Walaupun sudah berpuluh kali membaca buku “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk”, namun saya masih ingin terus membaca, dan membacanya lagi.

Seorang Profesor lain di Universitas Malaya (UM) juga pernah mengatakan, “Saya banyak membaca buku karya Hamka, harapan saya suatu hari nanti bisa menulis sebuah novel sehebat Hamka, tetapi sampai saat ini saya belum mampu melakukannya.”

Sebuah museum Hamka yang memuat berbagai karya dan peninggalan Hamka dapat kita temui di Maninjau Sumatera Barat saat ini. Museum itu terletak di bibir Danau Maninjau yang nyaman, tenang, asri, dan damai, dengan pemandangan dan suasana perkampungan yang menyejukkan jiwa. Walaupun museum itu sederhana, namun saya sangat kagum saat berkunjung pada tahun 2008 lalu.

Namun perlu diingat bahwa di museum, kuburan Hamka, dan ayahnya Dr Abdul Karim Amrullah, tidak ada manusia yang datang berziarah berdoa meminta keberkatan, murah rezeki, dijauhkan dari penyakit, dapat jodoh, apalagi meminta nomor di kuburannya. Barang-barang peninggalannya juga tidak dijadikan ajimat yang diperebutkan dan dikeramatkan. Beliau hanya manusia biasa yang diberi kelebihan oleh Allah, itulah yang tergambar di dalam benak kita di waktu berkunjung ke sana.

Sekitar 300 buku telah beliau tulis dan “Tafsir al-Azhar” adalah karya agung beliau. Tulisannya selaju lidahnya, keras dan tegas. Kalau hitam, tidak dia katakan coklat dan sebagainya. Semua keberhasilan itu beliau hasilkan di balik berbagai tekanan dan keterbatasan keuangan lainnya.

Walaupun saat ini terdapat kemajuan bidang ilmu pengetahuan dengan berbagai kemudahan dari segi pendanaan dari Dikti, FRGS, dan berbagai program pendanaan penyelidikan lainnya, namun seorang pengkaji belum tentu bisa dikategorikan sebagai ahli dalam bidang yang dia kaji, walaupun anggaran pendidikan itu bermilyar-milyar rupiah jumlahnya.

Di zaman keemasannya dahulu, Islam tidak mengenal sistem dikotomi ilmu pengetahuan. Sejarah mencatatkan Ibn Rusyd, Ibn Sina, al-Farabi, Ibn Khaldun, al-Biruni, Muhammad ibn Abi Bakr al-Isfahani, Ibn Nafis, Imam Shuyuthi, dan sebagainya. Namun, mereka menguasai berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan. Hamka adalah termasuk seorang ulama besar Indonesia yang menguasai multi disiplin ilmu pengetahuan, seperti bidang falsafah, sastra, sejarah, sosiologi, dan politik Islam serta Barat.

Inilah yang membuat kita berdecak kagum dengan Hamka serta mengharapkan lahirnya Hamka-Hamka baru yang mampu mewarnai dan mengubah zamannya dan ratusan tahun setelah kepergiannya. Semoga kehilangan Hamka segera mendapatkan ganti sebagai penerus cita-cita dan perjuangan beliau. Amin. [Kuala Lumpur, 25 Januari  2010/www.hidayatullah.com]

Afriadi Sanusi. Penulis adalah mahasiswa S3 bidang sains politik Islam, pengkaji produk halal Asia Tenggara di Universiti Malaya dan juga pengurus Muhammadiyah Malaysia

Popular Posts